Tuesday, 19 November 2013

ALIRAN SESAT DI INDONESIA

ALIRAN SESAT DI INDONESIA

ALIRAN SESAT DI INDONESIA 
Emy Hajar Abra
           

A.    Pendahuluan
Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara dengan dengungan HAM, Pancasila, Demokrasi dan lainnya, tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Penyebaran agama ini bukan hanya merambat pada islam saja, namun agama seperti Kristen pun sudah lama, bahkan belangan ini di aceh, sangat marak terdengar, Fakta yang ada, aliran sesat akhir-akhir ini, bermunculan di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. 50 Di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.[3]
Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
B.     Permasalahan
Tulisan ini tidak berkaitan dengan perbedaan isi ajaran-ajaran aliran sesat, Karena tulisan ini bukan kaitannya dengan fatwa-fatwa, dan tafsir-tafsir ajaran agama tertentu, tapi lebih pada posisi hukum dan kebijakan, serta konflik sosialnya saja, sehingga dengan mudah dapat kita fahami, bagaimana posisi Negara pada kasus ini. Sebelum kita membahas tentang aliran sesat di Indonesia alangkah lebih baikknya, kita mengkaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dari politik hukum itu, agar tak ada kerancuan ketika dalam tugas politik hukum ini, penulis justru mengambil tema aliran sesat yang bisa jadi secara kasat mata hal ini dapat dinilai “rancu” atau bahasa simplenya “ga nyambung”.
1.      Definisi politik hukum
Mahfus MD dalam bukunya mengatakan, bahwa politik hukum itu beda dengan ilmu politik hukum, juga taka bisa dipisahakan antara politik dan hukum, sebagaimana Prof Saldi Isro pun memahaminya sepeti mata-hari, yang tak mampu untuk dipisahkan. Politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapa tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru, dan pergantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini maka, politik hukum itu harus berpijak pada tujuan Negara dan system hukum  yang berlaku di Negara yang bersangakutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan system itu terkandung dalam pancasila dan pembukaan UUD.[4]
 Sedangkan ilmu politik hukum lebih dari policy itu sendiri, tapi secara formal juga mengatur tentang politik apa yang melatar belakangi, budaya hukum apa yang digunakan, problem penegakkan hukum apa yang dihadapi dann lainnya, maka dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa segala masalah yang kemudian muncul, perlu mendapat perhatian politik hukum, yang dalam hal ini kebijakan politik hukum itu agar sesuai dengan tujuan Negara.
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat, dan Bagir Manan menilai politik hukum itu Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.[5]
2.      Definisi aliran sesat
Dalam tulisan ini penulis mengambil isu yang tak kunjung hentinya, yaitu aliran sesat di Indonesia, aliran sesat di Indonesia bukanlah hal yang baru, bahkan dari berdirinya Indonesia beberapa aliran yang dikatakan sesat ini sudah muncul seperti ahmadiyah pada abad 20. Aliran sesat, berasal dari dua suku kata, aliran dan sesat, aliran adalah bergerak maju, meleleh, berpindah tempat, dan kata yang seiring yaitu, mazhab, paham, sekte. Sesat adalah salah, keliru, menyimpang dari kebenaran. Dan padanan kata asingnya yaitu, dalal atau bid’ah.[6] Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran sesat adalah pandangan, yang kecendrunganya mengarah pada pengembangan sekte-sekte kearah yang berlawanan dari ajaran agama tertentu.
3.      Macam-macam aliran sesat di Indonesia
Ada beberapa aliran yang oleh MUI di fatwakan sesat, dalam hal ini sekalipun MUI bukan menjadi dasar sumber hukum, namun tidak bisa dibantakahan lagi, bahwa apa yang dikeluarkan MUi dapat menjadi rujukan dasr hukum dalam hal ini menjadi hukum materiil, maka dibawah ini hanya beberapa dari puluhan bahkan ratusan aliran sesat di Indonesia.
Vonis tentang aliran sesat sudah dijatuhkan hakim pada pemimpin kerajaan tuhan Eden yaitu Lia Aminudin yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus dari kerajaan Tuhan "Eden". Sedangkan aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah dan Pengajian al Qur’an suci masih dalam proses hukum. Sebelum itu, ada kasus Yusman Roy yang melakukan sholat dengan bahasa Indonesia.
Munculnya aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah terkait kondisi terpuruknya ekonomi serta gagasan tentang ratu adil dan penyelamatan. Para pengikutnya adalah orang-orang yang merasa kehilangan harapan ke depan sehingga kemunculan tokoh seperti Ahmad Mushaddeq memang ditunggu-tunggu mereka. Menurut Hasyim adanya  aliran sesat mirip saat masa prolog G30S PKI pada tahun 1964-1965.[7]
Mushaddeq yang bernama asli Abdul Salam itu sebelumnya aktif melatih bulu tangkis mulai 1971-1982. Setelah tidak melatih, dia mempelajari al-Quran secara otodidak. Setelah itu, dia punya pemahaman dan keyakinan sendiri sehingga akhirnya mengaku telah mendapatkan wahyu kerasulan melalui mimpi saat berada di Bogor sekitar enam tahun silam. Dia mengaku menerima wahyu setelah berpuasa siang-malam selama 40 hari. Selanjutnya, dia mendirikan al-Qiyadah al-Islamiyah dan mengaku sebagai rasul bergelar al-Masih al-Maw’ud.[8]
Al-Qiyadah beranggapan bahwa Islam sudah hancur, Nabi Muhammad sudah selesai sehingga digantikan olehnya, menganggap shalat dan puasa Ramadhan belum wajib terkait dengan tahapan yang masih dalam masa perjuangan di Mekah. Perjuangan yang mereka tempuh dilakukan dalam enam tahap, yaitu: perjuangan rahasia, perjuangan terang-terangan, hijrah, perang, futuh (merebut) Mekah dan membangun Khilafah yang diramal akan terjadi pada 2024. Pengikut Al Qiyadah Diperkirakan 8.000 Orang. Pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah yang menyerahkan diri dan ditangkap belum mencapai 100 orang.[9]
Keberadaan Al-Qiyadah al-Islamiyah ini sangat meresahkan kehidupan beragama di masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Ajaran yang disampaikan oleh aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah yang dipimpin oleh Mushaddeq bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Aliran sesat yang lainnya adalah Pengajian al Qur’an suci, diduga telah mengakibatkan hilangnya mahasiswa-mahasiswi. Sejak 9 September 2007, mahasiswi D-III Politeknik Pajajaran “Insan Cinta Bangsa” Bandung, Semester III, Achriyanie Yulvie (19), warga Perumnas Bumi Telukjambe Blok T Nomor 536 RT 06/11, Kabupaten Karawang, Jabar, tidak diketahui keberadaannya, setelah mengikuti pengajian “al-Qur`an Suci”[10]
Cara perekrutan jamaah pengajian “al-Qur`an Suci” dilakukan dengan sistem berantai atau mirip Multi Level Marketing (MLM). Jamaah yang sudah masuk, diwajibkan mengajak orang lain lagi untuk masuk ke kelompok itu. Begitu seterusnya, mirip system penjualan MLM. Jamaah yang direkrut harus pintar,  pemikir dan pendiam.[11]
Selain ingkar sunnah aliran ini juga sesat karena ingkar Al Qur’an dengan mengajarkan perzinahan. Banyak gadis-gadis yang menghilang dari keluarganya karena berkumpul bersama dan berzinah bersama kelompok Aliran Al Qur’an Suci.[12] Pada tanggal 9 November 2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat, diantaranya:
  1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)
  2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
  3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
  4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
  5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
  6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
  7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
  8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
  9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
  10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i[13]

4.      Kedudukan hak asasi manusia
Sejumlah kalangan banyak yang menggugat fatwa MUI tentang aliran sesat dan mengecam pelarangan beberapa aliran sesat oleh Kejaksaan Agung RI. Bahkan, mereka juga menuntut agar MUI dan PAKEM dibubarkan.  Jika ditelaah, pendapat mereka yang katanya membela kebebasan dan HAM itu,  sangatlah lemah. Tindakan aparat penegak hukum baik dari jajaran kepolisian dalam bentuk penangkapan/penahanan pimpinan aliran sesat dan pengikutnya, maupun tindakan pelarangan dari kejaksaan agung,  secara sosio-yuridis merupakan kebijakan yang sangat tepat dan berdasar.
Perlu diingat bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:  “Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”[14]
Jika kita perhatikan anak kalimat yang digarisbawahi dalam ketentuan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang perlu kita promosikan di Indonesia hanyalah pranata HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Ini penting karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang sangat luas dan beragam bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita. Begitu luasnya cakupan HAM yang dalam prakteknya sering menimbulkan pergesekan. Betapa tidak, karena di satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal, sebaliknya ada pandangan juga yang menyatakan HAM bersifat partikular.
Karena itu keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan mengenai pembatasan pelaksanaan konsep HAM sebagaimana tersebut diatas, lebih dipertegas lagi pada pasal 70, UU No. 39  Tahun 1999: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Jika kita mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita pun tidak boleh mencampakkan hal yang sama pada sistem pengembangan pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama/kepercayaan. Sebagai suatu ajaran agama/kepercayaan sekitar 1,4 milyar jiwa, Islam tentu mempunyai standar nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya. Standar nilai kesucian ajaran Islam tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Setiap tindakan yang melahirkan paradigma kepercayaan dan atau peribadatan dengan menggunakan label Islam,  tetapi menyimpang dari standar nilai ajaran agama Islam, maka itulah yang disebut dengan ajaran sesat dan menyesatkan yang dalam bahasa hukum disebut delik penodaan agama.
5.      Pandangan hukum
  1. Pancasila
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
  1. UUD 1945
Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila menempatkan agama sebagai peranan penting, serta menjadi sasaran dalam mewujudkan pembangunan bangsa. Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, serta menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
c.       Undang undang
Betapa tidak, selain untuk mencegah terjadinya aksi-aksi anarkis, kebijakan tersebut juga merupakan amanat dari ius constitutum. Postulat penindakan tersebut bertumpu pada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP, bahwa: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b) dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kewenangan aparat penegak hukum sendiri untuk menindak pelaku delik ajaran sesat dan menyesatkan, diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), dimana pada pasal 1 disebutkan: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”[15]
Sedangkan pada pasal 2 disebutkan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Undang-undang nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan, penodaan agama, intinya menyatakan aliran sesat sabagai ajaran terlarang. Seperti dalam pasal 1 UU no 1 tahun 1965. Begitupun dalam fatwa-fatwa yang dikeluarakan oleh MUI, dengan fatwa yang menyatakan adanya beberapa aliran sesat, seperti Ahmadiya, Lia Eden, Qur’an Suci, Sholet dua bahasa, dan lainnya, maka fatwa yang dikelurkan ini dirasa perlu agar tercapainya keberagaaman yang harmonis, lagi adil dan damai.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang nomor 1 tahun 1965, beberapa diantaranya adalah:
1.      Sila pertama pancasila” ketuhanan yang maha esa”, yang tidak dapat dipisahkan dari agama, yang merupakan landasan moral, dan landasan kesatuan nasional.
2.      Banyak muncul aliran kepercayaan yang menyatakan dalam ajarannya, bahwa aliran tesebut mempunyai nabi dan kitab suci sendiri
3.      Aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama
4.      Aliran-aliran tersebut sudah menimbulkan, pelnggaran hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai kesucian agama
5.      Menyalahgunaan dan atau mempergunakan agama sebagai pokok sangat membahayakan agama-agama yang ada[16]
Kalau kita melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon.
Selaku penulis, dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa Negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa dikatakan bahwa Negara jauh dari  agama?, hal ini justru menekankan bahwa Negara dengan malu-malu ikut serta akan hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam hal hukunya. Bahkan agama islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia dapat menjadi sumber hukum ,sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai sumber hukum materiil.[17]
Memahami situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara pasti, konsistensi dan koheren tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.[18]
6.      Yudicial review MK
Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun ini seperti,aliran-aliran yang atas nama islam, kekerasan atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan dengan agama membuat undang undang nomor 1 tahun 1965 ini diajukan judicial review oleh beberapa kalangan  ke Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Salah satu hakim MK Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. 
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini untuk membatasi penyimpangan dan  penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.[19]
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Perkara ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.[20]
C.    TEORI
            Bertitik tolak dari kasus yang terjadi ini, maka Oemar Seonadji, mengemukakan mengenai beberapa tori yang terkait, diantaranya:
  1. Teori perlindungan agama, adalah teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
  2. Teori perlindungan perasaan agama, yaitu: teori yang memandang rsa perasaan agama keagmaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
  3. Teori perlindungan perdamaian agama, yaitu; memandang kedamaina beragama diantara pemeluk agama.[21]
Adapun teori terkait yaitu teori utilitas, yang dikemukakan oleh Jeremy bentham, bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang sebesar besarnya, bagi manusia dengan jumlah yang sebanyak-banyakknya.[22]
D.    Solusi
Ada hal yang menarik dari beberapa komentar para ahli di bidangnya, salah satunya Psikiater, dokter, sekaligus ustad  Prof. Dr.dr. H. Dadang Hawari, mengatakan, bahwa  terdapat kelainan jiwa, salah satunya ditandai dengan adanya waham kebesaran dan keagamaan. Waham atau delusi adalah keyakinan yang tidak benar. Meskipun terdapat bukti-bukti tentang ketidakbenaran tersebut, yang bersangkutan tetap meyakininya. “Suatu aliran dikatakan sesat, apabila aliran itu menyimpang dari maenstrem agama induknya. Misalnya saja, ayat-ayat Al Qur’an ditafsirkan semaunya, tidak percaya pada hadits, mengkafirkan sesama muslim dan seterusnya ,”[23]
Pemimpin aliran sesat pandai memutar-balikkan ayat-ayat dengan logika palsu (pseudo-logika) dalam rangka meyakinkan para pengikutnya. Para pengikutnya adalah mereka yang sedang mengalami “kekosongan spiritual”, tidak faham tentang pokok-pokok ajaran Islam. Tetapi ada juga tokoh-tokoih intelektual Islam yang terpengaruh ajaran sesat. Benar mereka intelektual Islam, tetapi kurang memahami keislamannya.
Buku“Aliran Sesat Ditinjau dari Kesehatan Jiwa dan Agama” (Diterbitkan Badan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). beberapa aliran sesat di Indonesia, diantaranya: Aliran Inkar Sunnah, Isa Bugis, Darul Arqam, Lembaga Kerasulan, NII-Ma’had Al Zaytun, LDII, Lia Aminuddin, Millah Ibrahim, dan Syiah yang suka mencela sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman.[24]
Maka dari pembahasan diatas, penulis memberikan beberapa perhatian khusus berkaitan dengan aliran sesat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.      Bahwa Negara patut memperhatikan fatwa-fatwa kesesatan dari MUI yang berakibat penting demi terciptanya kesucian agama, yang kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan hukum nantinya.
2.      Bahwa HAM yang sering dijunjung tinggi sebaiknya diperhatikan dulu asas kedudukannya, bahwa HAM yang diangungkan itu lebih mengutamakn kedamaian dan keadilan kehidupan yang beragam ini, bahwa adanya HAM memanglah tidak mungkin mampu mengakomodir semua kepentingan, setidaknya, mampu memperhatikan bagian-bagian yang terluka juga menodai kehidupan masyarakat.
3.      Bahwa hukum-hukum, aturan yang sudah cukup baik itu tinggalah penegakkan dan keberanian Negara dan aparat selaku menjalan aturan, agar tidak lagi kasus aliran sesat ini, makin menyesatkan dan menodai kehidupan masyarakat
4.      Yang terakhir, penulis memberi masukan secara subyektif agar tiap-tiap individu kita lebih mengenal agama juga arti menghargai lebih luas.


[3] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  http://hariansib.com /2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[4] Moh mahfud MD. Membangun politik hukum dan menegakkan konstitusi, Jakarta, rajawali pers, 2010, hlm 5
[6] Kamus besar bahasa Indonesia, balai pustaka. Jakarta. 1990. Hlm 22,836
[7] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  http://hariansib.com 2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[8] Menyikapi al-Qiyadah al-Islamiyah http://www.cmm.or.id /cmm-ind_more .php  ? id=4928 _0_3_0_C
[9] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965   http://hariansib.com    /2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965//
[10]Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Sucihttp://www.media-islam.or.id  /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran sesat-al-quran-suci/
[11] Pengajian Alquran Suci Jaring Jamaah Mirip MLM, Erna Mardiana – detikcom http://www.detiknews.com /index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/04 /time /123032/idnews/837829/idkanal/10
[12] Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Suci http://www.media-islam.or.id /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran-sesat-al-quran-suci/
[13] MUI: 10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat http://www.media-islam.or.id /2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/
[14] Saharuddin Daming. Ham dan aliran sesat. Seminar kampus, 2010
[15] Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan, 2009, hlm 93
[16]. ibid
[17] Moh Mahfud MD, membagun politik hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[18] Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[20] ibid
[21] Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan 2009, hlm 92
[22] Ibid.
[24] ibid







 


Budidaya Jahe Dalam Karung

Budidaya Jahe Dalam Karung

Kelompok Tani Jahe Organik desa Larangan membudidayakan pertanaman jahe dalam karung ukuran 40 x 100 cm dengan media tanam bokasi dari bahan limbah pabrik penggergajian kayu. Benih disemai terlebih dahulu dengan cara dihamparkan atau diangin-anginkan. Media tanam (bokashi + pasir ladu)  dimasukan kedalam karung sebanyak 0,2 dari volume karung.
Benih ditanam masing-masing 250 g/karung.  Karung ditata dengan 5 jumlah baris dalam kolom.  Kurang lebih setiap 15 hari sekali, petani menambahkan media bokashi ke dalam karung agar rimpang yang terlihat dapat tertutupi. Yang unik dalam sistem budidaya ini serta diperlukan penelitian lanjut, petani tidak menambahkan pupuk anorganik dalam petanaman jahe dan melakukan pemangkasan tanaman.
Pemangkasan dilakukan saat tanaman mencapai dua bulan pada 5 – 10 cm dari pangkal rimpang. Pemangkasan bertujuan merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru pada rimpang. Setelah karung-karung berisi tanaman yang sudah dipangkas, tanaman dibiarkan hingga muncul tunas-tunas tanaman baru dari dalam rimpang.
Salah satu tantangan dalam teknik budidaya ini, diperlukan penanganan intensif pada tanaman mulai dari penanganan bokasi untuk media tanam, irigasi, kegiatan pemangkasan, dan penambahan media secara rutin. Jika teknik budidaya ini dapat berhasil dan sesuai dengan harapan yang diinginkan, akan tercipta efisiensi penggunaan lahan sebesar 90% dari budidaya konvensional.
Hal ini setara dengan membudidayakan 1000 karung (1000 m2) dengan budidaya konvensional satu hektar. Efisiensi yang lain adalah penggunaan benih tanaman, serta dapat diarahkan untuk budidaya organik dengan mengadopsi teknologi-teknologi yang telah dihasilkan.
Bila digunakan untuk menghasilkan benih, dapat menjadi sumber benih yang sehat dan dengan kondisi yang  terkontrol, produksi jahe dapat ditargetkan sesuai dengan permintaan.
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Sunday, 3 November 2013

Sabar



Sabar
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar                                                                                                                                  Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1.      Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
  1. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
  2. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan                                                                                                                                         Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.                                                                                                                         Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).                                                                                                      Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).                                                                                                                                                                       Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu                                                                                                                       Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.                                                                                                                                                     Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu                                                                                                               Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.                                                                                                                                                         Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah                                                                                                                             Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”                                                                                               Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.                                                                                                                                                       Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan                                                                                                                               Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).                                                                                                                                                      Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.                                                                                                            Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.                                                                                                            Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam                                                                                                                                                    Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)                                                                                                                                                           Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu,demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.                                                                                                                              Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.                                                                                                            Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.                                               Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).                                                                                  Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).                                                                                                                   Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat                                                                                                                              Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.                                                                                                                                                       Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”                                                                                                                                          Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.                                             Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)              Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.                                                                                                                       Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.                                  Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”                                                                                                               Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.                                                                         Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”                                                     Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.                                                                                                                                                                          Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.                                                                                                                                              Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.     Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”                 Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

Berikut beberapa bentuk sikap sabar dan ikhlas:

  1. Jadikan setiap permasalahan hidup sebagai tantangan dan ajang ujian kenaikan kelas. Allah swt sedang mempersiapkan kita menjadi pribadi yang lebih layak untuk menduduki posisi sosial yang lebih baik.
  2. Yakinilah bahwa kita sanggup untuk menghadapi sekaligus menyelesaikan setiap permasalahan. Bukankah Allah SWT telah berjanji tidak akan membebani permasalahan yang tidak sanggup kita pikul.
  3. Terimalah segala takdir dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, tentunya dengan tidak henti-hentinya berikhtiar, kewajiban kita hanyalah berusaha, hasil akhir, Allah SWT yang menentukan karena sang Maha Kuasa mengetahui secara pasti apa yang terbaik buat makhluknya.
  4. Selalu berfikiran dan bersikap positif dalam memandang segala permasalahan. Jika kita memancarkan energi positif maka lingkungan pun akan memberikan feedback positif kepada kita.
  5. Berdo’a-lah agar kita diberikan kesabaran dan kekuatan untuk bisa memikul sebesar-besarnya masalah dari pada terus-terusan meminta untuk dijauhkan dari masalah. Semakin kita terampil memecahkan permasalahan besar, semakin tinggi kualitas pribadi kita.

Tuesday, 22 October 2013

MONYET DAN AYAM


MONYET  DAN AYAM

Pada suatu zaman, ada seekor ayam yang bersahabat dengan seekor monyet. Si Yamyam dan si Monmon namanya. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si Monmon yang suka semena-mena dengan binatang lain. Hingga, pada suatu petang si Monmon mengajak Yamyam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang, si Monmon mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Yamyam dan mulai mencabuti bulunya. Yamyam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. “Lepaskan aku, mengapa kau ingin memakan sahabatmu?” teriak si Yamyam. Akhirnya Yamyam, dapat meloloskan diri.
Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. si Kepiting merupakan teman Yamyam dari dulu dan selalu baik padanya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang rumah si Kepiting. Di sana ia disambut dengan gembira. Lalu Yamyam menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Monmon.
Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Monmon. Ia berkata, “Mari kita beri pelajaran si Monmon yang tidak tahu arti persahabatan itu.” Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Monmon. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Monmon untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.
Kemudian si Yamyam mengundang si Monmon untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Monmon segera menyetujui ajakan itu karena ia berpikir akan mendapatkan banyak makanan dan buah-buahan di pulau seberang. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai di tengah laut, Yamyam dan kepiting berpantun. Si Yamyam berkokok “Aku lubangi ho!!!” si Kepiting menjawab “Tunggu sampai dalam sekali!!”
Setiap kali berkata begitu maka si Yamyam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut, sedangkan Si Yamyam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Monmon yang berteriak minta tolong karena tidak bisa berenang. Akhirnya ia pun tenggelam bersama perahu tersebut.


CINDELARAS


Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.

Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.

Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.