Laman

Tuesday, 19 November 2013

ALIRAN SESAT DI INDONESIA

ALIRAN SESAT DI INDONESIA

ALIRAN SESAT DI INDONESIA 
Emy Hajar Abra
           

A.    Pendahuluan
Sudah sekian lama Indonesia berdiri gagah sebagai suatu Negara dengan dengungan HAM, Pancasila, Demokrasi dan lainnya, tetapi konflik agama sering terjadi dan sampai memakan korban melayangnya jiwa manusia. Malangnya, nyawa yang terbuang sia-sia itu terjadi atas nama agama dan yang menjadi korban dianggap mati syahid. Kejadian yang lebih ringan adalah peledakan/pembakaran tempat ibadah, pengucilan sesorang yang menganut agama berbeda di suatu lingkungan masyarakat, penyediaan tempat atau fasilitas /layanan untuk yang beragama tertentu. Barangkali, hanya tempat pelacuran yang, pada akhirnya, tidak akan menyediakan layanan berbasis agama.
Penyebaran agama ini bukan hanya merambat pada islam saja, namun agama seperti Kristen pun sudah lama, bahkan belangan ini di aceh, sangat marak terdengar, Fakta yang ada, aliran sesat akhir-akhir ini, bermunculan di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. 50 Di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.[3]
Penyebaran agama juga perlu menjadi perhatian karena ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Saya katakan bagian paling hitam karena penyebaran agama ini yang menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya, suatu komunitas tertentu yang sudah lama menganut agama tertentu tiba-tiba di datangi oleh penyebar agama dari agama yang lain. Perlu juga diatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika terjadi perpindahan agama. Undang-undang tidak akan lengkap tanpa adanya sanksi pidana. Maka perlu diatur pelanggaran-pelanggaran apa yang dapat disebut sebagai tindak pidana agama.
Selama ini ketentuan mengenai agama belum sepenuhnya diatur dan kalaupun diatur tersebar dalam berbagai instrumen hukum. Apa yang disampaikan di atas hanya sekelumit soal mengenai sistem keagamaan di Indonesia yang tidak teratur dengan baik. Persoalan yang saat ini panas menyangkut pembantaian Jemaah Ahmadiyah merupakan buah dari keengganan menata kehidupan keberagamaan di Indonesia.
B.     Permasalahan
Tulisan ini tidak berkaitan dengan perbedaan isi ajaran-ajaran aliran sesat, Karena tulisan ini bukan kaitannya dengan fatwa-fatwa, dan tafsir-tafsir ajaran agama tertentu, tapi lebih pada posisi hukum dan kebijakan, serta konflik sosialnya saja, sehingga dengan mudah dapat kita fahami, bagaimana posisi Negara pada kasus ini. Sebelum kita membahas tentang aliran sesat di Indonesia alangkah lebih baikknya, kita mengkaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dari politik hukum itu, agar tak ada kerancuan ketika dalam tugas politik hukum ini, penulis justru mengambil tema aliran sesat yang bisa jadi secara kasat mata hal ini dapat dinilai “rancu” atau bahasa simplenya “ga nyambung”.
1.      Definisi politik hukum
Mahfus MD dalam bukunya mengatakan, bahwa politik hukum itu beda dengan ilmu politik hukum, juga taka bisa dipisahakan antara politik dan hukum, sebagaimana Prof Saldi Isro pun memahaminya sepeti mata-hari, yang tak mampu untuk dipisahkan. Politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapa tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru, dan pergantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini maka, politik hukum itu harus berpijak pada tujuan Negara dan system hukum  yang berlaku di Negara yang bersangakutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan system itu terkandung dalam pancasila dan pembukaan UUD.[4]
 Sedangkan ilmu politik hukum lebih dari policy itu sendiri, tapi secara formal juga mengatur tentang politik apa yang melatar belakangi, budaya hukum apa yang digunakan, problem penegakkan hukum apa yang dihadapi dann lainnya, maka dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa segala masalah yang kemudian muncul, perlu mendapat perhatian politik hukum, yang dalam hal ini kebijakan politik hukum itu agar sesuai dengan tujuan Negara.
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat, dan Bagir Manan menilai politik hukum itu Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.[5]
2.      Definisi aliran sesat
Dalam tulisan ini penulis mengambil isu yang tak kunjung hentinya, yaitu aliran sesat di Indonesia, aliran sesat di Indonesia bukanlah hal yang baru, bahkan dari berdirinya Indonesia beberapa aliran yang dikatakan sesat ini sudah muncul seperti ahmadiyah pada abad 20. Aliran sesat, berasal dari dua suku kata, aliran dan sesat, aliran adalah bergerak maju, meleleh, berpindah tempat, dan kata yang seiring yaitu, mazhab, paham, sekte. Sesat adalah salah, keliru, menyimpang dari kebenaran. Dan padanan kata asingnya yaitu, dalal atau bid’ah.[6] Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran sesat adalah pandangan, yang kecendrunganya mengarah pada pengembangan sekte-sekte kearah yang berlawanan dari ajaran agama tertentu.
3.      Macam-macam aliran sesat di Indonesia
Ada beberapa aliran yang oleh MUI di fatwakan sesat, dalam hal ini sekalipun MUI bukan menjadi dasar sumber hukum, namun tidak bisa dibantakahan lagi, bahwa apa yang dikeluarkan MUi dapat menjadi rujukan dasr hukum dalam hal ini menjadi hukum materiil, maka dibawah ini hanya beberapa dari puluhan bahkan ratusan aliran sesat di Indonesia.
Vonis tentang aliran sesat sudah dijatuhkan hakim pada pemimpin kerajaan tuhan Eden yaitu Lia Aminudin yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus dari kerajaan Tuhan "Eden". Sedangkan aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah dan Pengajian al Qur’an suci masih dalam proses hukum. Sebelum itu, ada kasus Yusman Roy yang melakukan sholat dengan bahasa Indonesia.
Munculnya aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah terkait kondisi terpuruknya ekonomi serta gagasan tentang ratu adil dan penyelamatan. Para pengikutnya adalah orang-orang yang merasa kehilangan harapan ke depan sehingga kemunculan tokoh seperti Ahmad Mushaddeq memang ditunggu-tunggu mereka. Menurut Hasyim adanya  aliran sesat mirip saat masa prolog G30S PKI pada tahun 1964-1965.[7]
Mushaddeq yang bernama asli Abdul Salam itu sebelumnya aktif melatih bulu tangkis mulai 1971-1982. Setelah tidak melatih, dia mempelajari al-Quran secara otodidak. Setelah itu, dia punya pemahaman dan keyakinan sendiri sehingga akhirnya mengaku telah mendapatkan wahyu kerasulan melalui mimpi saat berada di Bogor sekitar enam tahun silam. Dia mengaku menerima wahyu setelah berpuasa siang-malam selama 40 hari. Selanjutnya, dia mendirikan al-Qiyadah al-Islamiyah dan mengaku sebagai rasul bergelar al-Masih al-Maw’ud.[8]
Al-Qiyadah beranggapan bahwa Islam sudah hancur, Nabi Muhammad sudah selesai sehingga digantikan olehnya, menganggap shalat dan puasa Ramadhan belum wajib terkait dengan tahapan yang masih dalam masa perjuangan di Mekah. Perjuangan yang mereka tempuh dilakukan dalam enam tahap, yaitu: perjuangan rahasia, perjuangan terang-terangan, hijrah, perang, futuh (merebut) Mekah dan membangun Khilafah yang diramal akan terjadi pada 2024. Pengikut Al Qiyadah Diperkirakan 8.000 Orang. Pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah yang menyerahkan diri dan ditangkap belum mencapai 100 orang.[9]
Keberadaan Al-Qiyadah al-Islamiyah ini sangat meresahkan kehidupan beragama di masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Ajaran yang disampaikan oleh aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah yang dipimpin oleh Mushaddeq bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Aliran sesat yang lainnya adalah Pengajian al Qur’an suci, diduga telah mengakibatkan hilangnya mahasiswa-mahasiswi. Sejak 9 September 2007, mahasiswi D-III Politeknik Pajajaran “Insan Cinta Bangsa” Bandung, Semester III, Achriyanie Yulvie (19), warga Perumnas Bumi Telukjambe Blok T Nomor 536 RT 06/11, Kabupaten Karawang, Jabar, tidak diketahui keberadaannya, setelah mengikuti pengajian “al-Qur`an Suci”[10]
Cara perekrutan jamaah pengajian “al-Qur`an Suci” dilakukan dengan sistem berantai atau mirip Multi Level Marketing (MLM). Jamaah yang sudah masuk, diwajibkan mengajak orang lain lagi untuk masuk ke kelompok itu. Begitu seterusnya, mirip system penjualan MLM. Jamaah yang direkrut harus pintar,  pemikir dan pendiam.[11]
Selain ingkar sunnah aliran ini juga sesat karena ingkar Al Qur’an dengan mengajarkan perzinahan. Banyak gadis-gadis yang menghilang dari keluarganya karena berkumpul bersama dan berzinah bersama kelompok Aliran Al Qur’an Suci.[12] Pada tanggal 9 November 2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat, diantaranya:
  1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)
  2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
  3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
  4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
  5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
  6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
  7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
  8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
  9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
  10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i[13]

4.      Kedudukan hak asasi manusia
Sejumlah kalangan banyak yang menggugat fatwa MUI tentang aliran sesat dan mengecam pelarangan beberapa aliran sesat oleh Kejaksaan Agung RI. Bahkan, mereka juga menuntut agar MUI dan PAKEM dibubarkan.  Jika ditelaah, pendapat mereka yang katanya membela kebebasan dan HAM itu,  sangatlah lemah. Tindakan aparat penegak hukum baik dari jajaran kepolisian dalam bentuk penangkapan/penahanan pimpinan aliran sesat dan pengikutnya, maupun tindakan pelarangan dari kejaksaan agung,  secara sosio-yuridis merupakan kebijakan yang sangat tepat dan berdasar.
Perlu diingat bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM:  “Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”[14]
Jika kita perhatikan anak kalimat yang digarisbawahi dalam ketentuan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang perlu kita promosikan di Indonesia hanyalah pranata HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Ini penting karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang sangat luas dan beragam bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita. Begitu luasnya cakupan HAM yang dalam prakteknya sering menimbulkan pergesekan. Betapa tidak, karena di satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal, sebaliknya ada pandangan juga yang menyatakan HAM bersifat partikular.
Karena itu keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan mengenai pembatasan pelaksanaan konsep HAM sebagaimana tersebut diatas, lebih dipertegas lagi pada pasal 70, UU No. 39  Tahun 1999: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Jika kita mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita pun tidak boleh mencampakkan hal yang sama pada sistem pengembangan pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama/kepercayaan. Sebagai suatu ajaran agama/kepercayaan sekitar 1,4 milyar jiwa, Islam tentu mempunyai standar nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya. Standar nilai kesucian ajaran Islam tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Setiap tindakan yang melahirkan paradigma kepercayaan dan atau peribadatan dengan menggunakan label Islam,  tetapi menyimpang dari standar nilai ajaran agama Islam, maka itulah yang disebut dengan ajaran sesat dan menyesatkan yang dalam bahasa hukum disebut delik penodaan agama.
5.      Pandangan hukum
  1. Pancasila
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya:
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
  1. UUD 1945
Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila menempatkan agama sebagai peranan penting, serta menjadi sasaran dalam mewujudkan pembangunan bangsa. Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, serta menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
c.       Undang undang
Betapa tidak, selain untuk mencegah terjadinya aksi-aksi anarkis, kebijakan tersebut juga merupakan amanat dari ius constitutum. Postulat penindakan tersebut bertumpu pada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP, bahwa: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b) dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kewenangan aparat penegak hukum sendiri untuk menindak pelaku delik ajaran sesat dan menyesatkan, diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), dimana pada pasal 1 disebutkan: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”[15]
Sedangkan pada pasal 2 disebutkan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Undang-undang nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan, penodaan agama, intinya menyatakan aliran sesat sabagai ajaran terlarang. Seperti dalam pasal 1 UU no 1 tahun 1965. Begitupun dalam fatwa-fatwa yang dikeluarakan oleh MUI, dengan fatwa yang menyatakan adanya beberapa aliran sesat, seperti Ahmadiya, Lia Eden, Qur’an Suci, Sholet dua bahasa, dan lainnya, maka fatwa yang dikelurkan ini dirasa perlu agar tercapainya keberagaaman yang harmonis, lagi adil dan damai.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang nomor 1 tahun 1965, beberapa diantaranya adalah:
1.      Sila pertama pancasila” ketuhanan yang maha esa”, yang tidak dapat dipisahkan dari agama, yang merupakan landasan moral, dan landasan kesatuan nasional.
2.      Banyak muncul aliran kepercayaan yang menyatakan dalam ajarannya, bahwa aliran tesebut mempunyai nabi dan kitab suci sendiri
3.      Aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama
4.      Aliran-aliran tersebut sudah menimbulkan, pelnggaran hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai kesucian agama
5.      Menyalahgunaan dan atau mempergunakan agama sebagai pokok sangat membahayakan agama-agama yang ada[16]
Kalau kita melihat permasalahan yang muncul dari konflik agama ini memang cukup banyak dan sangat mengiris hati, karena masalah ini bukan saja masalah ajaran yang baru dibawa, tapi lebih dari pada itu, yaitu kehilangan nyawa yang bukan satu dua bakan bisa puluhan bahkan ratusan seperti di ambon.
Selaku penulis, dalam hal ini sangat tidak sepaham dengan beberapa kalangan yang menilai bahwa Negara tak patut tak ada kaitanya dengan agama, coba sejenak kita lihat tentang beberapa hal diantaranya kurikulum sekolah dari jenjang SD sampai kuliah yang dengan tersistem meletakkan pelajaran agama didalamnya, termasuk undang-undang penodaan agama, juga adanya pengadilan agama, apakah dari hal ini masih bisa dikatakan bahwa Negara jauh dari  agama?, hal ini justru menekankan bahwa Negara dengan malu-malu ikut serta akan hadirnya agama didalamnya, termasuk keberadaan MUI yang sangat dominan dalam hal hukunya. Bahkan agama islam yang dianaut lebih dari 85% rakyat Indonesia dapat menjadi sumber hukum ,sekalipun bukan sumber hukum formal namun sebagai sumber hukum materiil.[17]
Memahami situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek. Problematika msyarakat bisa diobservasi, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Adakalnya reaksi yang ditimbulkan akibat adanya suatu investigasi tidak mudah diukur validitasnya, sehingga obeyktifitas dari informasi yang diperoleh secara pasti, konsistensi dan koheren tidak semudah data kealaman yang dikumpulkan melalui suatu proses dan metode penelitian tertentu.[18]
6.      Yudicial review MK
Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun ini seperti,aliran-aliran yang atas nama islam, kekerasan atas nama agama, terrorisme, bengunan ibadah, dan segala permasalahan berkaitan dengan agama membuat undang undang nomor 1 tahun 1965 ini diajukan judicial review oleh beberapa kalangan  ke Mahkamah Konstitusi
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
Adanya pendapat oleh salah satu hakim konstitusi bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," adalah hal yang sangat penting.
Salah satu hakim MK Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. 
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini untuk membatasi penyimpangan dan  penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain. UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.[19]
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Perkara ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.[20]
C.    TEORI
            Bertitik tolak dari kasus yang terjadi ini, maka Oemar Seonadji, mengemukakan mengenai beberapa tori yang terkait, diantaranya:
  1. Teori perlindungan agama, adalah teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
  2. Teori perlindungan perasaan agama, yaitu: teori yang memandang rsa perasaan agama keagmaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi
  3. Teori perlindungan perdamaian agama, yaitu; memandang kedamaina beragama diantara pemeluk agama.[21]
Adapun teori terkait yaitu teori utilitas, yang dikemukakan oleh Jeremy bentham, bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang sebesar besarnya, bagi manusia dengan jumlah yang sebanyak-banyakknya.[22]
D.    Solusi
Ada hal yang menarik dari beberapa komentar para ahli di bidangnya, salah satunya Psikiater, dokter, sekaligus ustad  Prof. Dr.dr. H. Dadang Hawari, mengatakan, bahwa  terdapat kelainan jiwa, salah satunya ditandai dengan adanya waham kebesaran dan keagamaan. Waham atau delusi adalah keyakinan yang tidak benar. Meskipun terdapat bukti-bukti tentang ketidakbenaran tersebut, yang bersangkutan tetap meyakininya. “Suatu aliran dikatakan sesat, apabila aliran itu menyimpang dari maenstrem agama induknya. Misalnya saja, ayat-ayat Al Qur’an ditafsirkan semaunya, tidak percaya pada hadits, mengkafirkan sesama muslim dan seterusnya ,”[23]
Pemimpin aliran sesat pandai memutar-balikkan ayat-ayat dengan logika palsu (pseudo-logika) dalam rangka meyakinkan para pengikutnya. Para pengikutnya adalah mereka yang sedang mengalami “kekosongan spiritual”, tidak faham tentang pokok-pokok ajaran Islam. Tetapi ada juga tokoh-tokoih intelektual Islam yang terpengaruh ajaran sesat. Benar mereka intelektual Islam, tetapi kurang memahami keislamannya.
Buku“Aliran Sesat Ditinjau dari Kesehatan Jiwa dan Agama” (Diterbitkan Badan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). beberapa aliran sesat di Indonesia, diantaranya: Aliran Inkar Sunnah, Isa Bugis, Darul Arqam, Lembaga Kerasulan, NII-Ma’had Al Zaytun, LDII, Lia Aminuddin, Millah Ibrahim, dan Syiah yang suka mencela sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman.[24]
Maka dari pembahasan diatas, penulis memberikan beberapa perhatian khusus berkaitan dengan aliran sesat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.      Bahwa Negara patut memperhatikan fatwa-fatwa kesesatan dari MUI yang berakibat penting demi terciptanya kesucian agama, yang kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan hukum nantinya.
2.      Bahwa HAM yang sering dijunjung tinggi sebaiknya diperhatikan dulu asas kedudukannya, bahwa HAM yang diangungkan itu lebih mengutamakn kedamaian dan keadilan kehidupan yang beragam ini, bahwa adanya HAM memanglah tidak mungkin mampu mengakomodir semua kepentingan, setidaknya, mampu memperhatikan bagian-bagian yang terluka juga menodai kehidupan masyarakat.
3.      Bahwa hukum-hukum, aturan yang sudah cukup baik itu tinggalah penegakkan dan keberanian Negara dan aparat selaku menjalan aturan, agar tidak lagi kasus aliran sesat ini, makin menyesatkan dan menodai kehidupan masyarakat
4.      Yang terakhir, penulis memberi masukan secara subyektif agar tiap-tiap individu kita lebih mengenal agama juga arti menghargai lebih luas.


[3] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  http://hariansib.com /2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[4] Moh mahfud MD. Membangun politik hukum dan menegakkan konstitusi, Jakarta, rajawali pers, 2010, hlm 5
[6] Kamus besar bahasa Indonesia, balai pustaka. Jakarta. 1990. Hlm 22,836
[7] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  http://hariansib.com 2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965/
[8] Menyikapi al-Qiyadah al-Islamiyah http://www.cmm.or.id /cmm-ind_more .php  ? id=4928 _0_3_0_C
[9] Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965   http://hariansib.com    /2007/11/01/ maraknya -aliran-sesat-mirip-prolog-g30s-pki-tahun-1965//
[10]Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Sucihttp://www.media-islam.or.id  /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran sesat-al-quran-suci/
[11] Pengajian Alquran Suci Jaring Jamaah Mirip MLM, Erna Mardiana – detikcom http://www.detiknews.com /index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/04 /time /123032/idnews/837829/idkanal/10
[12] Hilangnya Gadis-gadis karena Aliran Sesat Al Qur’an Suci http://www.media-islam.or.id /2007/10/31/hilangnya-gadis-gadis-karena-aliran-sesat-al-quran-suci/
[13] MUI: 10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat http://www.media-islam.or.id /2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/
[14] Saharuddin Daming. Ham dan aliran sesat. Seminar kampus, 2010
[15] Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan, 2009, hlm 93
[16]. ibid
[17] Moh Mahfud MD, membagun politik hukum, menegakkan konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, 2010, hlm 100
[18] Prof Jawahir Tantowi. islam politik dan hukum, Yogyakarta: madyan press Yogyakarta, 2002, hlm 288
[20] ibid
[21] Saiful Abdullah, hukum aliran sesat, setara press, bangkalan 2009, hlm 92
[22] Ibid.
[24] ibid